Selasa, 07 Mei 2024

Ketakutan, Melepaskan #3

Hari ini dia ulang tahun, Putraku.

Aku menyadari satu hal, dia sedang mengalami metamorfosisnya. Dulu dia adalah belatung dan sekarang, lingkungan dan masa anak-anaknya adalah lapisan yang membungkusnya. Masa dimana kanak-kanak berubah menjadi anak-anak. Masa dimana dipeluk, dicium, dibelai bukan lagi menjadi kebutuhan utama yang membuatnya merasa nyaman. Masa dimana ia akan menjadi kepompong.

Aku mengerti, aku tak pernah membesarkannya sebagai seekor merpati yang memintanya terbang lalu kembali kesarang. Aku membesarkannya sebagai seekor elang, yang kelak ia akan terbang dan menentukan tagertnya sendiri. Mencipta sarang sendiri bersama pasangannya.

Aku mencintai putraku, namun aku mempersiapkan diriku untuk melepasnya. Itu bukan perkara mudah, karena disinilah pertama kali aku menemukan keiklasan dalam diriku. Aku iklas untuk memberi, mencintai dan memintanya pergi.

Agar dia memiliki warna sayap dan bulunya sendiri. Agar dia bisa bernafas mengarungi udara yang tak sama denganku. Agar, ia tak terbebani dengan keadaanku kelak. Agar dia merasakan kebebasan hakiki hingga dia merasa bahwa batasan hidup adalah tentang apa yang kau pikirkan sendiri.

Aku, bangga padamu. Diusiamu yang ke-6, kau telah menentukan keinginanmu dan kesukaanmu.

Terimakasih, Putraku.

Minggu, 28 April 2024

Ketakutan, Persepsi #2

Aku pernah membaca buku, Max Havelaar. Bahwa manusia kadang memiliki kekoyolan dalam menceritakan pengalaman hidupnya. Bahwa, mungkin persepsi kita mengatakan bahwa kita telah berpindah tempat. Namun yang terjadi adalah kita mengapung saja. Ya, kita memang menjalani hidup yang kita pikir itu adalah daya upaya terbaik kita namun pada kenyataannya adalah kita hanya mengikuti arus. Manusia memang memiliki kesombongan atau kekoyolan yang demikian, semoga ini tidak termasuk dalam hitungan dosa kita. 

Aku memiliki ketakutan yang demikian. Bagaimana jika ternyata aku tak pernah sekalipun mengepakkan sayapku untuk terbang melainkan aku terbawa angin dan hinggap disembarang tempat yang aku pikir itu adalah tujuanku. Bukankah menakutkan persepsi yang demikian?

Aku mungkin bisa saja terjatuh pada lumpur hisap dan aku baru memiliki rencana bagaimana caranya keluar dari lumpur itu ketika separuh tubuhku telah tertelan.

Apa yang memungkinkan aku untuk terbang dan hinggap pada tujuanku adalah aku sudah memiliki tujuan sebelum aku mengepakkan sayapku diudara. Agar mungkin jika aku terjatuh, aku sudah melihat medan dimana aku harus mendarat darurat tanpa menyalahkan apapun. 

Karenanya, aku buka kembali buku rincian targetku agar aku bisa kembali mengudara dengan radar dan tujuan yang kutuju. Agar aku berpindah tempat pada tempat yang menjadi tujuanku.


Rabu, 24 April 2024

Ketakutan, Loneliness, Kesepian adalah hal yang ditakuti sebagian orang #1

Loneliness, Kesepian adalah hal yang ditakuti bagi sebagian orang.

Ini percakapan kami siang itu.

Dia : Aku tidak pernah takut mati. Tapi aku takut kesepian.

Aku: Kenapa kau takut akan kesepian?

Dia : Kau tahu, saat aku pulang kerja dan tidak ada orang yang membukakan pintu, atau orang yang dapat diajak bicara, itu membuatku kesepian. Disini, aku hanya memiliki dua orang yang dapat kuanggap teman. Jika salah satunya pergi, atau keduanya pergi. Aku sangat takut hal-hal seperti itu.

Aku : Aku tidak mengerti itu. (Aku menemukan kedamaian dalam diriku meskipun aku sendiri, aku tidak merasakan hal yang kau sebut kesepian). Semoga temanmu itu tidak kemana-mana, kau adalah orang baik.

Bagiku, itu percakapan singkat setelah makan siang jam kantor usai, namun setelah melihatnya termenung tak juga memandang arah komputer didepan meja, membuatku berpikir sejenak. Mungkinkah dia benar-benar takut kesepian? Lalu benarkah itu? saat kita membuka rumah dan tidak ada satu orangpun diajak bicara dia benar-benar kesepian? Setahuku dia memiliki keluarga yang begitu menyayanginya. Bukankah seharusnya dia takut akan kematian? dialam kubur manusia akan terbaring benar-benar sendiri dan tidak akan pernah bisa membuka pintu rumah untuk merasakan 'Rasa Kesepian' itu sendiri.

Aku coba mengerti sudut pandangnya, tapi sepertinya aku tak bisa. Mungkin benar, bahwa seseorang tidak akan benar-benar mengerti perasaan itu jika tidak mengalaminya sendiri.

Bagiku, ketika aku berpikir tentang ketakutan terbesarku adalah kematian, bukan untuk diriku melainkan putraku yang masih berusia 5 tahun. Karena ketakutan itu, aku menjaga diriku dengan baik, lebih baik lagi tidak seperti saat aku masih lajang. Agar aku sehat dan tidak terluka. Agar aku bisa memeluknya dengan erat.





Apa itu Kenangan? #1

Apa itu kenangan? 


Bukan penjabaran dari kamus yang aku inginkan, tapi aku bertanya : Apa itu kenangan? Tentunya merujuk tentang kisah kita yang telah lalu. Lalu boleh aku teruskan: Bagaimana perasaanmu? Jika dua pertanyaan itu masih mampu membangkitkan rasa sakit dalam hatimu, maka hal-hal yang pernah kita lalui dahulu 'Masih belum bisa disebut kenangan'. 


Maka aku akan mengoreksi pertanyaanku, 'Bagaimana kabarmu setelah berpisah denganku?' dan jika engkau masih mencoba mencari banyaknya alasan atas perpisahan kita, itu mungkin berarti, aku masih memiliki tempat dihatimu, entah sebagai sosok yang engkau benci, sosok yang engkau pernah cintai, sosok yang pernah melukaimu, atau apalah itu, yang jelas, aku masih memiliki ruang dihatimu. Maka pertanyaan kedua, 'Kapan engkau singkirkan aku dari hatimu?'


Mari kita renungkan pertanyaan itu, sebagai alasan agar dilain ruang, dilain waktu dan kesempatan, saat kita bertemu kembali, kita akan sama-sama bisa bertanya kabar tanpa merasakan sakit itu lagi. 


Karena aku, masih terusik bahkan jika seseorang menyebut namamu, dan sejujurnya, pertanyaan itu aku tujukan untuk diriku sendiri. 



Jumat, 27 Januari 2023

Athousandteak

 

Athousandteak

Sebuah tempat berisi deretan pohon jati dengan pucuk-pucuk daunnya yang melembaga sempurna ditiup oleh angin. Jika Anda berdiri dibawah batang pohon jati, Anda dapat melihat kemilau mentari yang sedang terik namun akan tetap terasa hangat dipermukaan kulit Anda.

Tempat ini memiliki mushola/tempat ibadah yang berbentuk seperti saung di dekat pintu masuk dan toilet yang bersih dan nyaman diselah kanan pintu masuk. Areanya sangat rindang dan bersih dan jangan khawatir, alas kaki yang Anda gunakan tidak akan kotor selama Anda berjalan karena jalannya sudah di paving. 

Untuk masuk di area ini, Anda tidak diperbolehkan untuk membawa makanan ataupun minuman dari luar, karena didalam sudah tersedia dua buah resaturant dengan menu yang yummy ala western Citra Gelato maupun Dapoer Jati Diri yang menyajikan menu makanan traditional. Namun jika keukeh membawanya, tolong sembunyi-sembuyi ya, bagaimanapun ada yang menjalankan bisnis disini. 

Jika Anda adalah para orang tua, disini tempat yang nyaman yang bisa Anda kunjungi bersama putra atau putri Anda meskipun masih balita karena ada banyak permainan seperti ayunan dan prosotan dengan kondisi yang baik. Rumput disana juga hijau terawat yang mana bagus untuk balita Anda yang sedang mengasah perkembangan motoriknya. Anda bisa menyantap makanan sembari mengawasi putra atau putri Anda bermain. 

Banyak juga pasangan muda-mudi kesini untuk berkencan namun Anda juga akan melihat para lansia yang menyantap hidangannya dikelilingi oleh putra-putri maupun cucu terkasih. Bisa juga meeting casual bersama rekan kerja atau partner bisnis Anda.

Atmosphere disini sangat hangat, ramah dan tidak membuat Anda untuk terburu-buru pulang. Mungkin bagi Anda yang sedang jengah dengan kesibukan, Anda bisa kesini sendiri untuk menyepi namun tidak membuat Anda kesepian.






Rabu, 08 Mei 2019

BOOK 1 REFLECTION

Teruntuk Senyummu,


Bagaimana ini disebut 'Rindu'?
Wajahmu, hanya sejengkal dari ujung hidungku

Tersenyumlah padaku, tataplah aku dengan mesra
Bicaralah, seolah semua 'baik-baik saja', aku mengerti

Lalu mengapa engkau memelukku begitu erat?
Alih-alih mencampakkan lenganku yang merindu bahumu?

Percayalah, kadang dunia ini terlalu bangsat pada 'Kita'
Bukan karena aku ataupun engkau yang tak mampu

Aku ingin memanggilmu 'Sayang' sore ini,
Bahkan aku ingin tersenyum selayak kecubung ditepi danau itu
Indah, hangat bahkan romantis

Namun aku tak mampu....
Namun engkau yang tersenyum...

'Engkau yang sedang menari diatas pecahan kaca,
Engkau yang bersiap membunuh pedihmu
Engkau yang mempersalahkan dirimu'

Tolong ingatlah,
Satu detik dalam hariku akan terisi oleh senyummu sore ini
Bukan salahmu, hanya dunia ini yang bangsat pada 'Kita'

Dan bangsat, aku tidak mampu memelukmu esok sore...

Dariku, Pemilik senyum itu....




Rabu, 09 Desember 2015

BOOK 1 REFLECTION

I'm Not Okay

Anna sayangku,

Aku sedang menjalani masa sulit tanpamu, ini berjalan enam bulan sudah sejak kau, pergi. Aku baik-baik saja meskipun awalnya aku merasakan kesulitan yang teramat sangat, terlebih hatiku, seperti menghilang dari diriku sendiri dan tak bisa kusembunyikan lagi rasa sakit kala harus berhadapan dengan dunia, matahari, wajah dan senyum orang lain. Aku tak dapat menampik, aku merindukanmu, tapi aku baik-baik saja.
Setiap aku berada diperempatan, ada hal konyol yang selalu kukerjakan setiap pagi yaitu menoleh arah kiri sambil menunggu lampu hijau. Aku tahu, kau tak akan pernah muncul dari arah kiri lagi, seperti kebiasaanmu selama 3 tahun terakhir. Kau tak akan pernah lagi melambaikan jemari kanan dengan senyuman kearahku. Kau, tak akan lagi berbincang denganku sambil menunggu lampu hijau menyeberangi zebra yang terbaring dijalan beraspal. Tidakkah itu lucu? Atau, biasanya kubuang beberapa menit saat jam istirahat mengunjungi taman kota yang tak jauh dari kantorku. Biasanya, kita akan makan siang dibawah pohon citra payung sambil duduk menggelar koran dan kau akan bercerita tentang bosmu yang sangat menyebalkan itu. Aku mungkin belum terbiasa…, tapi aku baik-baik saja.
Hari ini, aku mengunjungi pantai, apa kau masih ingat pantai dimana kita merencanakan kencan pertama kita? Ya, aku sekarang disini bersama api unggun, kursi dan meja lipat dan dua cangkir teh. Aku membawa  album photo kita, tapi aku belum berani membukanya. Aku merindukanmu, sebab itu aku menulis surat ini. Aku tidak memiliki  keberanian untuk berbicara padamu. Tidak ada yang bisa kuajak bicara sore ini, bahkan angin sekalipun. Aku berharap ada keajaiban yang membawamu kemari, duduk disampingku menyeduh teh sembari menikmati manisnya api unggun. Wajahmu akan terlihat begitu bahagia dan kau akan menjentikkan jemarimu, memberikan ide bagaimana kalau kita segera memasukkan beberapa ubi kedalam bara?. Aku sungguh ingin menari mengelilingi api unggun denganmu seperti dulu. Aku merindukan semua tentangmu, bahkan aku tak mengerti kenapa aku masih bertahan dengan semua rasa yang harusnya sudah tidak ada lagi…, tapi aku baik-baik saja.
Aku membuka halaman album photo setelah kuhabiskan 2 cangkir teh, aku membutuhkan keberanian yang cukup untuk menghadapi wajah kita yang bahagia. Tak seperti dulu, aku akan selalu bahagia setiap menyentuh album tersebut. Namun, kini sungguh berbeda, jantungku berdegup keras dan seperti ada duri tajam yang dipaksa menusuk hatiku. Begitu sakit hingga pada halaman pertama kala aku melihat kita berpelukan dengan background pantai ini, aku menangis. Begitu pahit perpisahan ini kukecap, membuatku menjadi sosok yang begitu menyedihka, aku merindukanmu dan masih merindukanmu. Halaman pertama photo itu sudah membuat keyakinanku, selama ini yang aku anggap baik-baik saja runtuh dalam sekejap, maka kuputuskan untuk lekas menutupnya. Memasukkannya kembali dalam tas. Anna sayangku, hari ini aku begitu menyedihkan dan aku tidak baik-baik saja. Aku sungguh tidak baik-baik saja tanpamu. Aku begitu terluka dan berharap, kau akan kesini memelukku. Bisakah kau kesini, sekejap saja menghapuskan kerinduan ini?

                                                                                                                                            Adam

***
Apa yang dirasakan Adam rupanya menjadi elegi menggiring senja untuk lekas hilang dari cakrawala . Dia membuat tenda kecil bersama api unggun, dua buah bangku lipat lengkap dengan meja. Secarik kertas putih yang telah bertuliskan surat untuk Anna ada diatas meja bersama dua cangkir teh. Aroma ubi bakar yang telah mengembang bercampur bersama aroma pasir. Sedangkan Adam sendiri, ia duduk terpaku pada api unggun bersama air matanya yang telah kering dan mata yang sembab. Wajah itu begitu menyiratkan kelukaan yang begitu dalam kemudian ia bersandar membenamkan dirinya dikursi dan mendongakkan sedikit wajahnya menatap bintang yang mulai bermunculan. Siluet dirinya terlihat begitu sepi bersama bangku kosong yang harusnya dihuni oleh orang yang sangat dirindukannya, Anna.
Gradasi sendu dari alam yang menyiratkan keromantisan tidak dapat dinikmati oleh Adam. Ketika langit telah sempurna kehilangan warna jingga keemasan dibarat. Ketika burung camar telah pergi meninggalkan pantai. Ketika pinus terpaku menunggu angin. Ketika bintang bermunculan memberi kilau pada tenangnya air laut yang tercipta layaknya cermin raksasa. Ketika, keromantisan alam  bernama purnama mengambang diatas air laut sehingga siapa saja bisa menangkap bulan dalam genggamannya. Semua itu, hanya omong kosong bagi Adam. Semua itu hanya keindahan yang membubuhi luka dihatinya dengan taburan garam dan membuatnya kian merasa perih. Keindahan itu memprovokasi hatinya dalam kubangan lumpur dan sulit untuk keluar bahkan sekedar bertahan.

7 bulan lalu…
“Aku bertahan Adam, aku bertahan dan selalu mempertahankanmu dan aku selalu memperjuangkan kita selama 3 tahun ini. Tapi, kali ini aku sungguh lelah. Aku wanita yang sudah berusia 28 tahun, aku membutuhkan kepastian, aku menagih komintmen itu dan kau tidak bisa menepatinya…”. Anna berucap disela pertemuan mereka dibawah pohon citra payung saat jam istirahat kantor. Adam yang baru saja hendak menggelar koran, tercekat seketika. Jemarinya urung menggelar koran dan memilih menatap Anna yang tengah berdiri menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tolong, jangan lakukan ini…”. Mundur beberapa langkah saat Adam hendak memeluknya. “Jangan buat aku menjadi seorang penjahat yang menyuruhmu memilih antara orang tuamu atau aku…”. Adam kini terlihat menunduk sedangkan matanya terlihat bergulir pertanda ia sedang berfikir keras tentang hubungannya.
“Aku, tolong beri aku waktu Anna. Aku akan berbicara kepada mereka agar menerima dirimu, hubungan kita. Tolong, jangan beri aku pilihan. Salahkan saja aku yang tidak berguna karena aku belum bisa menyakinkan kedua orang tuaku. Tolong…”. Perkataan itu membuat air mata Anna perlahan jatuh, saat jemari Adam hendak menyeka, Anna menampiknya. Bibirnya tersenyum lalu jemari Anna mengusap lembut pipi Adam kemudian dia lekas pergi. Adam berdiri bak patung, tidak bisa menyakinkan dirinya bahwa kali ini Anna begitu terluka bahkan dia menangis. “Bahkan saat menangis dan terluka, kau masih saja baik padaku, kenapa aku bisa begitu kejam, membuatmu menungguku sekian lama?”. Bisik Adam melihat Anna yang semakin jauh dan kini dia telah menyeberang jalan bersama beberapa orang.
Itu adalah pertemuan terakhir  mereka sebagai sepasang kekasih karena setelah itu, Anna tidak pernah lagi muncul dari arah kiri di perempatan meskipun Adam menunggunya selama berjam-jam. Bahkan, beberapa kali saat ia tidak masuk kerja, ia menunggu Anna disebuah bangku sambil menghabiskan bergelas-gelas cappuccino  dekat perempatan namun nihil.
Adam sendiri, sebenarnya sudah berkali-kali berbicara pada orang tuanya agar bisa menerima Anna sebagai menantu namun lagi-lagi Adam mendapat penolakan. Mereka tidak menerima latar belakang dan kehidupan Anna. Latar belakang Anna merupakan seorang putri dari koruptor yang tengah meringkuk dipenjara. Kehidupan Anna yang tidak terlalu bagus dalam karir dan menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya dipenjara. Beban keluarga sepenuhnya ada dipundak Anna, kuliah adik-adik dan kehidupan ibunya. Alasan tersebutlah yang membuat orang tua Adam tidak menyetujuinya.    
Bagi Adam sendiri, ia tidak dapat memutuskan siapa yang dipilihnya. Dia merupakan seorang putra tunggal dan menjalankan bisnis keluarga. Anna adalah gadis yang ia cintai dan orang tua adalah orang yang paling dia ingin bahagiakan dan hormati. Namun, toh pada akhirnya Adam memilih melepaskan pujaan hatinya agar dia tetap bisa membahagiakan kedua orang tuanya.
‘Anna, bisakah kita bicara? Sore ini, aku menunggumu ditempat biasa’
Demikian kalimat sms yang dikirim oleh Adam kepada Anna. Sebenarnya, ia ingin menelphone saja karena ia begitu merindukan suara Anna, tapi hatinya terlalu takut.
***
Anna sudah duduk dengan kemeja putih dan celana jeans. Sepertinya dia baru saja pulang bekerja dan belum sempat pulang ke rumah. Wajahnya terlihat pucat dan pandangannya terlihat begitu sayu. Sesekali air mata itu mengembang dan kembali surut tergantung bagaimana dia bisa menahan perih dihatinya atau tidak. Adam juga datang  masih mengenakan setelan jas, ia meletakkan jas dikursi bersama tas namun matanya tak pernah lepas dari Anna yang tengah mengaduk teh dan memandangnya. Mata mereka saling bertemu dan mencoba menabahkan hati masing-masing. Anna tersenyum. Gadis itu begitu baik bahkan ia masih bisa menutupi hatinya yang terluka dan dia sudah bisa menebak apa keputusan yang akan diambil Adam.
“Hei…, mau cappuccino?”. Anna tersenyum saat Adam duduk, tanpa Adam meng-iyakan, Anna lekas mengangkat jemarinya dan memesankan cappuccino. “Aku sudah memutuskan, sebaiknya kita berpisah. Lagi pula, bukankah aku gadis yang begitu manis? Aku akan dengan mudah menemukan penggantimu…”. Celetuk Anna dengan nada bercanda sambil mengaduk isi cangkir dan Adam yang mendengar kalimat itu mencoba tersenyum namun  gagal, bibirnya  lebih terlihat seperti ranting yang baru saja jatuh dan patah. Adam mengerti, Anna hanya ingin membuatnya merasa tidak bersalah akan keputusan yang akan dia katakan.
“Maafkan aku…”. Adam tidak mampu menyembunyikan kesedihan dan rasa bersalahnya. “Maafkan aku yang tidak bisa mempertahankanmu, hubungan kita. Maafkan aku…”.
“Kenapa bicaramu begitu, aku yang mencampakkanmu kenapa kau yang harus minta maaf?...”. Tersenyum ringan seolah sedang tidak terjadi apa-apa. “Setelah ini, aku tidak akan menghubungimu, aku tidak bisa menjadi temanmu setelah ini. Aku yang membuangmu, maka jangan pernah sapa aku saat kita bertemu. Kau akan baik-baik saja karena kau adalah lelaki yang begitu kuat. Carilah teman, teman akan meringankan bebanmu. Berhentilah minum cappuccino.   Jangan khawatirkan aku, aku akan lebih baik tanpa dirimu… dan kau, kau harus baik-baik saja”. Menyeruput habis isi cangkirnya.
“Anna, bahkan kau tidak pernah membiarkanku sedih, tapi kenapa aku selalu menyakitimu?”.
“Tenanglah, sakit ini hanya sementara. Kau akan baik-baik saja. Ini jalan terbaik untuk kita…”.
Anna pergi sesaat setelah cappuccino datang, ia tidak lagi menoleh kebelakang atau melambaikan tangan pada Adam yang masih duduk dikursi sebuah café. Anna tidak ingin, Adam melihatnya menangis yang akan membuat Adam mempersalahkan dirinya akan perpisahan ini.
***
 Adam melipat suratnya menjadi sebuah perahu dan ia meletakkannya diatas air laut yang tenang bergelimang cahaya bulan. Ia mengambil kamera dan ia memotret perahu yang tengah berlayar bersama gelombang air laut yang mulai datang menghapus ketenangan. Perahu itu pergi kian menjauh dari ujung kaki Adam.
Dua hari kemudian….
Halaman terakhir album photo kenangan itu adalah sebuah potret  perahu kertas berisi surat kepada Anna…  Adam melihat photo tersebut dan mengusapnya dengan kepahitan hati. Sepertinya dia sedang mencoba menelaah kembali keputusan yang diambilnya 6 bulan yang lalu.
“Sorry Anna, but I’m not okay without you here, beside me…”. Kembali mengusap photo perahu kertas tersebut.