I'm Not Okay
Anna
sayangku,
Aku
sedang menjalani masa sulit tanpamu, ini berjalan enam bulan sudah sejak kau,
pergi. Aku baik-baik saja meskipun awalnya aku merasakan kesulitan yang teramat
sangat, terlebih hatiku, seperti menghilang dari diriku sendiri dan tak bisa
kusembunyikan lagi rasa sakit kala harus berhadapan dengan dunia, matahari,
wajah dan senyum orang lain. Aku tak dapat menampik, aku merindukanmu, tapi aku
baik-baik saja.
Setiap
aku berada diperempatan, ada hal konyol yang selalu kukerjakan setiap pagi
yaitu menoleh arah kiri sambil menunggu lampu hijau. Aku tahu, kau tak akan
pernah muncul dari arah kiri lagi, seperti kebiasaanmu selama 3 tahun terakhir.
Kau tak akan pernah lagi melambaikan jemari kanan dengan senyuman kearahku.
Kau, tak akan lagi berbincang denganku sambil menunggu lampu hijau menyeberangi
zebra yang terbaring dijalan beraspal. Tidakkah itu lucu? Atau, biasanya
kubuang beberapa menit saat jam istirahat mengunjungi taman kota yang tak jauh
dari kantorku. Biasanya, kita akan makan siang dibawah pohon citra payung
sambil duduk menggelar koran dan kau akan bercerita tentang bosmu yang sangat
menyebalkan itu. Aku mungkin belum terbiasa…, tapi aku baik-baik saja.
Hari
ini, aku mengunjungi pantai, apa kau masih ingat pantai dimana kita
merencanakan kencan pertama kita? Ya, aku sekarang disini bersama api unggun,
kursi dan meja lipat dan dua cangkir teh. Aku membawa album photo kita, tapi aku belum berani
membukanya. Aku merindukanmu, sebab itu aku menulis surat ini. Aku tidak
memiliki keberanian untuk berbicara
padamu. Tidak ada yang bisa kuajak bicara sore ini, bahkan angin sekalipun. Aku
berharap ada keajaiban yang membawamu kemari, duduk disampingku menyeduh teh
sembari menikmati manisnya api unggun. Wajahmu akan terlihat begitu bahagia dan
kau akan menjentikkan jemarimu, memberikan ide bagaimana kalau kita segera
memasukkan beberapa ubi kedalam bara?. Aku sungguh ingin menari mengelilingi
api unggun denganmu seperti dulu. Aku merindukan semua tentangmu, bahkan aku
tak mengerti kenapa aku masih bertahan dengan semua rasa yang harusnya sudah
tidak ada lagi…, tapi aku baik-baik saja.
Aku
membuka halaman album photo setelah kuhabiskan 2 cangkir teh, aku membutuhkan
keberanian yang cukup untuk menghadapi wajah kita yang bahagia. Tak seperti
dulu, aku akan selalu bahagia setiap menyentuh album tersebut. Namun, kini
sungguh berbeda, jantungku berdegup keras dan seperti ada duri tajam yang
dipaksa menusuk hatiku. Begitu sakit hingga pada halaman pertama kala aku
melihat kita berpelukan dengan background pantai ini, aku menangis. Begitu
pahit perpisahan ini kukecap, membuatku menjadi sosok yang begitu menyedihka, aku
merindukanmu dan masih merindukanmu. Halaman pertama photo itu sudah membuat
keyakinanku, selama ini yang aku anggap baik-baik saja runtuh dalam sekejap,
maka kuputuskan untuk lekas menutupnya. Memasukkannya kembali dalam tas. Anna
sayangku, hari ini aku begitu menyedihkan dan aku tidak baik-baik saja. Aku
sungguh tidak baik-baik saja tanpamu. Aku begitu terluka dan berharap, kau akan
kesini memelukku. Bisakah kau kesini, sekejap saja menghapuskan kerinduan ini?
Adam
***
Apa yang dirasakan Adam
rupanya menjadi elegi menggiring senja untuk lekas hilang dari cakrawala . Dia
membuat tenda kecil bersama api unggun, dua buah bangku lipat lengkap dengan
meja. Secarik kertas putih yang telah bertuliskan surat untuk Anna ada diatas
meja bersama dua cangkir teh. Aroma ubi bakar yang telah mengembang bercampur
bersama aroma pasir. Sedangkan Adam sendiri, ia duduk terpaku pada api unggun
bersama air matanya yang telah kering dan mata yang sembab. Wajah itu begitu
menyiratkan kelukaan yang begitu dalam kemudian ia bersandar membenamkan
dirinya dikursi dan mendongakkan sedikit wajahnya menatap bintang yang mulai
bermunculan. Siluet dirinya terlihat begitu sepi bersama bangku kosong yang
harusnya dihuni oleh orang yang sangat dirindukannya, Anna.
Gradasi sendu dari alam
yang menyiratkan keromantisan tidak dapat dinikmati oleh Adam. Ketika langit
telah sempurna kehilangan warna jingga keemasan dibarat. Ketika burung camar
telah pergi meninggalkan pantai. Ketika pinus terpaku menunggu angin. Ketika
bintang bermunculan memberi kilau pada tenangnya air laut yang tercipta
layaknya cermin raksasa. Ketika, keromantisan alam bernama purnama mengambang diatas air laut
sehingga siapa saja bisa menangkap bulan dalam genggamannya. Semua itu, hanya
omong kosong bagi Adam. Semua itu hanya keindahan yang membubuhi luka dihatinya
dengan taburan garam dan membuatnya kian merasa perih. Keindahan itu
memprovokasi hatinya dalam kubangan lumpur dan sulit untuk keluar bahkan
sekedar bertahan.
7 bulan lalu…
“Aku bertahan Adam, aku
bertahan dan selalu mempertahankanmu dan aku selalu memperjuangkan kita selama
3 tahun ini. Tapi, kali ini aku sungguh lelah. Aku wanita yang sudah berusia 28
tahun, aku membutuhkan kepastian, aku menagih komintmen itu dan kau tidak bisa
menepatinya…”. Anna berucap disela pertemuan mereka dibawah pohon citra payung
saat jam istirahat kantor. Adam yang baru saja hendak menggelar koran, tercekat
seketika. Jemarinya urung menggelar koran dan memilih menatap Anna yang tengah
berdiri menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tolong, jangan lakukan ini…”.
Mundur beberapa langkah saat Adam hendak memeluknya. “Jangan buat aku menjadi
seorang penjahat yang menyuruhmu memilih antara orang tuamu atau aku…”. Adam
kini terlihat menunduk sedangkan matanya terlihat bergulir pertanda ia sedang
berfikir keras tentang hubungannya.
“Aku, tolong beri aku
waktu Anna. Aku akan berbicara kepada mereka agar menerima dirimu, hubungan
kita. Tolong, jangan beri aku pilihan. Salahkan saja aku yang tidak berguna
karena aku belum bisa menyakinkan kedua orang tuaku. Tolong…”. Perkataan itu
membuat air mata Anna perlahan jatuh, saat jemari Adam hendak menyeka, Anna
menampiknya. Bibirnya tersenyum lalu jemari Anna mengusap lembut pipi Adam
kemudian dia lekas pergi. Adam berdiri bak patung, tidak bisa menyakinkan
dirinya bahwa kali ini Anna begitu terluka bahkan dia menangis. “Bahkan saat
menangis dan terluka, kau masih saja baik padaku, kenapa aku bisa begitu kejam,
membuatmu menungguku sekian lama?”. Bisik Adam melihat Anna yang semakin jauh
dan kini dia telah menyeberang jalan bersama beberapa orang.
Itu adalah pertemuan
terakhir mereka sebagai sepasang kekasih
karena setelah itu, Anna tidak pernah lagi muncul dari arah kiri di perempatan
meskipun Adam menunggunya selama berjam-jam. Bahkan, beberapa kali saat ia
tidak masuk kerja, ia menunggu Anna disebuah bangku sambil menghabiskan
bergelas-gelas cappuccino dekat
perempatan namun nihil.
Adam sendiri,
sebenarnya sudah berkali-kali berbicara pada orang tuanya agar bisa menerima
Anna sebagai menantu namun lagi-lagi Adam mendapat penolakan. Mereka tidak
menerima latar belakang dan kehidupan Anna. Latar belakang Anna merupakan
seorang putri dari koruptor yang tengah meringkuk dipenjara. Kehidupan Anna
yang tidak terlalu bagus dalam karir dan menjadi tulang punggung keluarga
setelah ayahnya dipenjara. Beban keluarga sepenuhnya ada dipundak Anna, kuliah
adik-adik dan kehidupan ibunya. Alasan tersebutlah yang membuat orang tua Adam
tidak menyetujuinya.
Bagi Adam sendiri, ia
tidak dapat memutuskan siapa yang dipilihnya. Dia merupakan seorang putra
tunggal dan menjalankan bisnis keluarga. Anna adalah gadis yang ia cintai dan
orang tua adalah orang yang paling dia ingin bahagiakan dan hormati. Namun, toh
pada akhirnya Adam memilih melepaskan pujaan hatinya agar dia tetap bisa
membahagiakan kedua orang tuanya.
‘Anna,
bisakah kita bicara? Sore ini, aku menunggumu ditempat biasa’
Demikian kalimat sms
yang dikirim oleh Adam kepada Anna. Sebenarnya, ia ingin menelphone saja karena
ia begitu merindukan suara Anna, tapi hatinya terlalu takut.
***
Anna sudah duduk dengan
kemeja putih dan celana jeans. Sepertinya dia baru saja pulang bekerja dan
belum sempat pulang ke rumah. Wajahnya terlihat pucat dan pandangannya terlihat
begitu sayu. Sesekali air mata itu mengembang dan kembali surut tergantung
bagaimana dia bisa menahan perih dihatinya atau tidak. Adam juga datang masih mengenakan setelan jas, ia meletakkan
jas dikursi bersama tas namun matanya tak pernah lepas dari Anna yang tengah
mengaduk teh dan memandangnya. Mata mereka saling bertemu dan mencoba
menabahkan hati masing-masing. Anna tersenyum. Gadis itu begitu baik bahkan ia
masih bisa menutupi hatinya yang terluka dan dia sudah bisa menebak apa
keputusan yang akan diambil Adam.
“Hei…, mau
cappuccino?”. Anna tersenyum saat Adam duduk, tanpa Adam meng-iyakan, Anna
lekas mengangkat jemarinya dan memesankan cappuccino. “Aku sudah memutuskan, sebaiknya
kita berpisah. Lagi pula, bukankah aku gadis yang begitu manis? Aku akan dengan
mudah menemukan penggantimu…”. Celetuk Anna dengan nada bercanda sambil
mengaduk isi cangkir dan Adam yang mendengar kalimat itu mencoba tersenyum
namun gagal, bibirnya lebih terlihat seperti ranting yang baru saja
jatuh dan patah. Adam mengerti, Anna hanya ingin membuatnya merasa tidak
bersalah akan keputusan yang akan dia katakan.
“Maafkan aku…”. Adam
tidak mampu menyembunyikan kesedihan dan rasa bersalahnya. “Maafkan aku yang
tidak bisa mempertahankanmu, hubungan kita. Maafkan aku…”.
“Kenapa bicaramu
begitu, aku yang mencampakkanmu kenapa kau yang harus minta maaf?...”.
Tersenyum ringan seolah sedang tidak terjadi apa-apa. “Setelah ini, aku tidak
akan menghubungimu, aku tidak bisa menjadi temanmu setelah ini. Aku yang
membuangmu, maka jangan pernah sapa aku saat kita bertemu. Kau akan baik-baik
saja karena kau adalah lelaki yang begitu kuat. Carilah teman, teman akan
meringankan bebanmu. Berhentilah minum cappuccino. Jangan
khawatirkan aku, aku akan lebih baik tanpa dirimu… dan kau, kau harus baik-baik
saja”. Menyeruput habis isi cangkirnya.
“Anna, bahkan kau tidak
pernah membiarkanku sedih, tapi kenapa aku selalu menyakitimu?”.
“Tenanglah, sakit ini
hanya sementara. Kau akan baik-baik saja. Ini jalan terbaik untuk kita…”.
Anna pergi sesaat
setelah cappuccino datang, ia tidak lagi menoleh kebelakang atau melambaikan
tangan pada Adam yang masih duduk dikursi sebuah café. Anna tidak ingin, Adam
melihatnya menangis yang akan membuat Adam mempersalahkan dirinya akan
perpisahan ini.
***
Adam melipat suratnya menjadi sebuah perahu
dan ia meletakkannya diatas air laut yang tenang bergelimang cahaya bulan. Ia
mengambil kamera dan ia memotret perahu yang tengah berlayar bersama gelombang
air laut yang mulai datang menghapus ketenangan. Perahu itu pergi kian menjauh
dari ujung kaki Adam.
Dua hari kemudian….
Halaman terakhir album
photo kenangan itu adalah sebuah potret perahu kertas berisi surat kepada Anna… Adam melihat photo tersebut dan mengusapnya
dengan kepahitan hati. Sepertinya dia sedang mencoba menelaah kembali keputusan
yang diambilnya 6 bulan yang lalu.
“Sorry Anna, but I’m
not okay without you here, beside me…”. Kembali mengusap photo perahu kertas
tersebut.